Kamis, 10 Maret 2011

Kehidupan Penari Jalanan


Sepertiga malam yang hening, hanya rintikan air hujan yang jatuh mengenai atap rumah semenjak 2 jam yang lalu. Angin dingin berhembus, melewati celah-celah kecil rumah kayu yang sudah tua. Di sanalah tempat berteduh, melepas penat seorang wanita dan putra satu-satunya. Emak Atik dan anaknya Anas.
“Mak,..Mak!” panggil remaja SMA itu yang sejak tadi terjaga karena ibunya terus menerus batuk. Uhuk,uhuk, suara itu tidak juga berhenti. Seketika Anas menuju ke kamar ibunya yang berhadapan dengan kamarnya.
“Emak kedinginan?”
“Tidak, Emak tidak apa-apa. Kamu kembali tidur saja”.
“Saya ambilkan selimut yang lebih tebal, ya”. Sambil mengambil selimut di almari pakaian di samping tempat tidur ibunya. Dengan penuh sayang, ia menutupi sebagian badan yang mulai dingin. Setelah merasa lebih baik, ia kembali merebahkan badan. Akan tetapi, ia semakin khawatir terhadap ibunya. Batuknya kembali terdengar olehnya dan tida kunjung berhenti. Langkahnya tergerak menuju dapur dan bergegas membuatkan secangkir teh hangat dengan obat batuk yang hampir habis.
“Ini teh hangat, Mak”
“Terima kasih, Nak. Sepertinya Emak kecapaian” ungkap Emak dengan sedikit meminum teh hangat buatan anaknya tercinta.
“Lebih baik besok Emak istirahat. Jangan menari dulu!”
“Tapi kamu belum bayar uang SPP bulan ini”.
“Minggu depan masih ada waktu, Mak. Kesehatan lebih penting”.
“Baiklah kalau begitu”.
“Saya sholat dulu, Mak” ungkap Anas.
Dalam doa, Anas berharap ibunya cepat sembuh dan diberikan kemudahan dalam setiap langkahnya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah SWT. Itu yang menjadi semangatnya. Air mata juga menyertai harapnya.


Gerimis semalam membuat tanah basah dan mengeluarka aroma yang khas. Paduan suara burung-burung menyambut pagi yang cerah dan Sang Mentari pun menyinari jagat. Tidak terkecuali desa yang jauh dari pusat ibukota NKRI ini. Sinarnya seakan menumbuhkan semangat jiwa-jiwa yang akan beraktivitas. Salah satunya adalah Anas. Sejak kecil, ia selalu semangat untuk bersekolah diantara anak sebayanya. Meskipun sekarang ia hidup dari keringat seorang penari jalanan, semangatnya tidak surut. Ia ingin memenuhi pesan dari ayahnya. 5 tahun berlalu sejak ayah yang disayanginya pergi untuk selama-lamanya. Pesan ayahnya begitu jelas yang diutarakan saat usianya mencapai 11 tahun. Menjadi seorang yang sukses untuk membahagiakan ibumu, kata-kata itulah yang menjadi tekadnya, motivasi setiap belajarnya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan keringat ibunya sia-sia bahkan akan diubahnya menjadi susu. Ia tahu, bagaimana ibunya menyusuri setiap celah jalan. Tanpa kenal lelah dan waktu. Tidak jarang, banyak ejekan yang keluar.
Bau yang keluar dari dapur menggoda perut untuk meraung dan meminta mangsa. Pagi ini, Anas membuat makanan untuk sarapan. Ia keluar dengan membawa 2 piring nasi goreng yang dengan lauk kerupuk. Tentu saja untuk dirinya dan ibunya. Akhirnya Emak Atik menuruti saran dari puteranya. Libur tidak menari untuk istirahat. Biasanya Emak Atik berangkat sebelum Anas berangkat sekolah sehingga mereka tidak sempat makan bersama. Kesempatan ini tidak dibuang percuma oleh Anas. Canda dan tawa menjadi bumbu dalam sarapan bersama ini. Tiba-tiba Anas ingin mengatakan sesuatu.
“Mulai sekarang Anas ingin membantu Emak” kata Anas.
“Membantu apa, Nak?”
“Setelah pulang sekolah, Anas ingin menari untuk membantu Emak”. Seketika ibunya berhenti mengunyah.
“Untuk apa kamu melakukan itu? Emak masih kuat untuk menari. Dan kputusanmua itu akan menggangu belajarmu, Nak”.
“Anas pernah belajar menari dari Ayah. Lagipula, Anas tidak tega melihat Emak menari lagi. Biarkan Anas yang mencari uang”.
“Tidak pelu, Anas. Mungkinkah pesan Ayahmu, sudah kamu lupakan?”
“Bukan begitu,…”
“Sudahlah, Nak. Kamu jangan terlalu mengkhawatirkan Emak. Ini adalah kewajiban”.
Anas mengurungkan niatnya dan bersiap-siap berangkat sekolah. Ia pamit dan tidak lupa mencium tangan ibunya. Sejenak rasa haru muncul. Sepasang mata ibu dan anak itu berkaca-kaca.
“Assalamu’alaikum” pamit Anas.
“Wa’alaikumussalam” sahut Emak Atik.
Dalam perjalanan, pikiran Anas terlintas akan masa depan dan ibunya. Ibunya mulai termakan usia. Ia tidak tega untuk membiarkan ibunya terus bekerja demi pendidikannya. Di samping itu, ia ingin mewujudkan keinginan ayahnya. Buah pikiran itu terbawa hingga di depan gerbang sekolah.
Sepi. Hanya tukang sapu yang mengumpulkan sampah daun. Banyak juga daun yang gugur akibat hujan semalam. Sesekali Anas melewati kubangan air dengan hati-hati. Rasa heran muncul dengan sendirinya. Masih sedikit murid yang datang berasal dari kelas lain. Itupun petugas piket yang lupa membersihkan kelas setelah pulang sekolah kemarin.
Jarum pendek menujuk pada angka 6 dan sudah 5 menit jarum panjang beranjak dari angka 12. Gelap dan kosong. Tidak satupun bangku yang terisi tas. Nampaknya, Anas penghuni pertama. Setiap pagi, lampu kelas harus dinyalakan. Tempat parkir baru dibangun tepat di samping kelas sehingga hanya sedikit sinar Sang Surya memantul dalam ruang. Lampu sudah menyala dan jendela dibuka. Sendirian terkadang membosankan. Suasana luar kelas menarik perhatiannya. Taman yang kecil dan kolam mungil membuat Anas ingin mengamatinya. Tanaman dan bunga terlihat segar karena terkena tetesan embun. Nampak pucuk daun masih basah. Penghuni kolam yang riang berenang. Sementara penghuni sekolah mulai bermunculan. Saling menyapa satu dengan yang lain bahkan ada yang sendirian tanpa kawan bicara. Teman sekelasnya mulai memenuhi bangku kosong namun sepertinya Anas enggan beralih dari tempatnya. Tet, tet, tet, bel berbunyi. Ans pun memasuki ruang kelas yang telah penuh.

♪♪♪

Waktu terus berganti. Bel berbunyi untuk kedua kalinya. Anas masih mengerjakan soal-soal ketika Niza salah satu temannya mengajak ke perpustakaan.
“Kita mengerjakan tugas kelompok di perpustakaan saja” ajak Niza dengan buku gambar ditangannya.
“Ya, kamu ke perpustakaan dulu nanti aku menyusul karena soalnya kurang sedikit lagi”
“Baik, tapi jangan terlalu lama” sambil meninggalkan Anas yang sedang asyik mengerjakan soal Fisika.
5 menit kemudian Anas menuju ke perpustakaan. Kali ini, perpustakaan dalam keadaan sepi. Entah kemana para kutu buku itu yang biasanya memenuhi setiap sudut perpustakaan. Fasilitas perpustakaan cukup lengkap. Ada musik yang mengalun, kipas angin dan juga koleksi bukunya cukup lengkap. Sedangkan Niza duduk dengan santai, tubuhnya diterpa tiupan angin dari kipas angin yang tidak jauh darinya. Diskusi pun dimulai untuk membahas tugas mata pelajaran kesenian.
“Bagaimana kamu punya ide untuk pembuatan poster?” Niza mengawali.
“Kalau aku ingin megangkat tema lingkungan”, sahut Anas
“Boleh juga. Akhir- akhir ini lingkungan menjadi berita di TV”
Niza mulai menggambarkan sketsa poster yang akan dibuat. Anas duduk termenung sepertinya ia memikirkan sesuatu. Niza menegurnya.
“Kamu tidak seperti biasa. Apa ada masalah?”
“Sedikit masalah dalam pembayaran uang SPP. Bulan ini tidak bisa melunasi karena Emak sedang sakit” katanya polos.
“Kamu boleh meminjam uangku dulu dan aku harap, kamu tidak menolaknya. Kita ini teman sejak SD jadi tidak perlu sungkan” ungkap Niza.
“Tapi, aku tidak enak dengan Tante Dewi”
“Tidak apa-apa. Besok kamu ke rumahku nanti akan aku jelaskan semua pada Tante Dewi” Anas sebenarnya tidak ingin memerima tawaran tersebut tapi keluarga Niza begitu baik kepada keluarganya bahkan sebelum ayahnya meninggal. Sejak kecil, Niza dibesarkan oleh adik kandung ibunya. Orang tua Niza meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat yang menuju Singapore. Sedangkan Tante Dewi yang kebetulan belum mempunyai anak menganggap Niza seperti putrinya sendiri. Tante Dewi sangat sayang kepada Niza. Terlihat ketika setiap pagi Tante Dewi mengantar dan menjemput sekolah.
Niza dan Anas kembali saat mereka selesai membuat sketsa poster. Pelajaran pun dimulai dengan serius tapi santai. Tidak terasa waktulah yang memisahkan. Bel kembali berbunyi pertanda waktunya untuk kembali ke rumah masing-masing.
Semakin hari Emak Atik tidak kunjung sembuh. Anas semakin khawatir akan kesehatan ibunya dan yang paling menakutkan ia terancam putus sekolah. Sekarang ia semakin bingung. Sore yang cerah, ia berencana pergi ke rumah Niza untuk memenuhi janjinya. Sepeda mini hadiah jalan santai ia gunakan menyusuri jalan. Rumah Niza tidak begitu jauh dari rumahnya. Otaknya tidak berhenti berputar. Keputusannya untuk meminjam uang hanya untuk menembah waktunya untuk berpikir masa depannya nanti. Rumah mewah berpagar biru sudah terlihat. Halaman yang luas dan taman yang indah. Dua orang telah duduk di depan rumah. Niza dan Tante Dewi telah menungguku. Ia disambut layaknya tamu kehormatan. Makanan ringan dan seteko es jeruk sudah terhidang di meja tamu. Setelah berbincang-bincang, Tante Dewi dengan senang hati meminjamkan uangnya. Bukan hanya dipinjamkan tapi memberikannya dengan ikhlas. Anas begitu terharu dan berterima kasih. Ia berjanji akan langsung membayarkannya.
Pagi hari yang tidak seperti pagi kemarin. Awan mendung menutupi sinar mentari. Dingin, gerimis dan angin meniupkan hawa yang dingin. Anas masih duduk terdiam menopang dagu di halaman kelasnya. Dia bingung harus berbuat apa sementara orang yang selama ini menjadi tulang punggungnya masih tergeletak sakit.
“Nas, kamu kenapa duduk sendirian melamun?” tiba-tiba Niza sudah berada di smpingnya.
“Awas nanti bisa kesambet, lho” candanya sedang Anas masih membisu.
“Memikirkan yang kemarin atau memikirkan yang aneh-aneh?” celoteh teman akrabnya lagi.
“Aneh? Aneh yang bagaimana?” jawabnya.
“Mungkin saja tentang dirimu yang belum punya pacar”
“Wah, kamu ngacok. Itu belum waktunya”
“Lha terus memikirkan apa, nih?”Niza begitu penasaran karena dari kemarin teman sekelasnya ini terlihat murung.
“Kamu boleh cerita siapa tahu aku bisa bantu” paksanya.
“Mungkin aku harus memutuskan untuk menggantikan Emak menjadi penari dan tidak melanjutkan sekolahku” ungkapnya.
“Mengapa kamu memutuskannya begitu cepat. Tidak adakah jalan lain?”
Pertanyaan dari Niza belum sempat terjawab, tapi Niza mendahului lagi “Kalau itu memang jalan terakhir, aku akan bantu kamu, nanti pulang sekolah kita berangkat.”
Bel masuk terdengar. Kedua sahabat itu masuk kelas. Pelajaran berjalan seperti biasa. Dari detik ke detik waktu telah menunjukkan pukul 12.00, saatnya untuk pulang melepas penat. Tapi sesuai janji, Niza pun mengikuti Anas untuk bekerja sebagai penari jalanan. Mereka memulai menari dengan lenggangnya, Niza tak terlihat canggung. Atribut tradisional melengkapi mereka dan banyak penonton yang tertarik, sehingga hasil hari ini bisa dibilang lumayan daripada hari-hari kemarin.
Ditengah-tengah kemacetan, Tante Dewi merasa sangat jenuh dan bosan. Tetapi rasa itu hilang saat ia melihat dua remaja menari ala penari tradisional. Tanpa banyak berpikir ia pun langsung merekam aksi dua remaja itu. Tante Dewi terkejut, ternyata dua remaja itu adalah Anas dan Niza. Tanpa terasa air matanya pun menetes. Selesai merekam ia langsung meneruskan perjalanannya menuju rumah.

♪♪♪
Malam hari udara terasa sangat dingin, hal ini membuat Niza ingin cepat-cepat tidur. Selain itu, dari siang tadi ia belum sempat istirahat sehingga ia merasa sangat lelah. Tanpa menghiraukan Tante Dewi ia pun sudah terlelap dalam tidurnya. Berbeda dengan Niza, Tante Dewi sibuk memikirkan masa depan Anas. Tiba-tiba dalam benaknya muncul keinginan untuk mengirim hasil rekamannya tadi.
Pagi harinya Tante Dewi langsung menuju tempat pendaftaran lomba tari tradisional. Dengan bermodal video itu ia yakin semua ini dapat membantu masalah yang dihadapi Anas.
Satu minggu dari pendaftaran kemarin, hadiah untuk sang juara dikirim. Dengan terkejut Anas menerima hadiah sebesar 10.000.000,00. Tante Dewi pun menjelaskan apa yang ia sudah perbuat. Tak ketinggalan Anas berterima kasih pada Tante Dewi yang sudah membantu tanpa sepengetahuannya. Dan yang paling mengejutkan Seni Tari Tradisional Production telah merekrut Anas dan Niza sebagai anggota barunya.
Dua bulan setelah perekrutan Anas dan Niza menjadi artis sekaligus seniman cilik yang terkenal. Prestasi dikancah internasional pun mereka dapatkan. Semua ini sudah menjamin masa depan keduanya.
Ucapan syukur tidak henti-hentinya Anas panjatkan kepada Allah SWT. Kebahagiaan kini ia dapatkan, setelah selama ini ia merasakan pahitnya hidup dengan serba kekurangan. Pendidikan sudah terjamin untuknya dan yang paling penting ibunya sudah kembali sehat.

0 komentar:

Posting Komentar